BIM | Jakarta – Isu penambangan dan hilirisasi nikel di Raja Ampat, Papua, menjadi sorotan publik, terutama setelah sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.
Tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan asal Papua membentangkan spanduk saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah menyampaikan sambutannya. Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak buruk aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
“Pemerintah bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat, di Papua. Save Raja Ampat,” ucap salah satu pemuda yang berorasi sembari membentangkan banner. Ada tiga poster berwarna kuning dengan tulisan hitam yang mereka angkat di dalam ruangan. Spanduk itu bertuliskan “What’s the true cost of your nickel?”, “Nickel mines destroy lives” dan “Save Raja Ampat from nickel mining.”
Menanggapi hal itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) tengah menindaklanjuti laporan bahwa sejumlah tambang nikel beroperasi di Kabupaten Raja Ampat. “Sementara hanya bisa menanggapi sedikit karena Deputi Gakkum juga sudah menindaklanjuti,” kata Sekretaris Utama KLHK/BPLH, Rosa Vivien Ratnawati, ditemui usai Sarasehan 45 Tahun Kalpataru di Hotel Truntum Kuta, Bali, Rabu, 4 Juni 2025.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan akan mengevaluasi sejumlah tambang nikel yang beroperasi di Kabupaten Raja Ampat. Dia mengatakan akan segera memanggil para pemilik perusahaan tambang tersebut dalam waktu dekat.
Bahlil juga akan mengkaji usulan agar di Raja Ampat dibangun smelter. Menurut dia, sebelum membangun smelter, diperlukan kajian analisis dampak lingkungan yang mendalam. “Di Papua, seperti halnya di Aceh, ada otonomi khusus. Jadi perlakuannya pun juga khusus,” kata Bahlil kepada wartawan di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 3 Juni 2025.
Lantas, apa sebenarnya dampak dari tambang nikel di Raja Ampat? Berikut informasinya.
Dampak Tambang Nikel di Raja Ampat
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, mengatakan bahwa penambangan nikel di Papua bakal mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekowisata masyarakat setempat terutama di Raja Ampat.
Padahal Kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam sebesar 75 persen untuk spesies terumbu karang di dunia, 1.400 jenis ikan-ikan karang, dan 700 invertebrata jenis moluska. Beberapa jenis ikan yang ada di Raja Ampat salah satunya adalah pari manta (Mobula birostris).
“Jadi ada wilayah di Raja Ampat itu namanya Selat Dampier. Selat Dampier itu arusnya kencang, tapi di selat itulah manta ray yang besar hidup,” kata Kiki di Hotel Pullman Jakarta Central Park, Selasa, 3 Juni 2025.
Kiki menjelaskan bahwa dampak hilirisasi nikel di Raja Ampat tidak hanya mengancam kehidupan biota laut, tetapi juga satwa khas Papua yang hidup di kawasan tersebut. Salah satunya adalah cenderawasih botak (Cicinnurus respublica), atau Wilson’s bird-of-paradise, yang merupakan spesies endemik dan hanya ditemukan di wilayah Raja Ampat.
Burung eksotis ini menjadi daya tarik utama bagi para pengamat burung dari mancanegara. Kiki menambahkan bahwa keberadaan cenderawasih botak bahkan dapat dijumpai di sekitar permukiman warga di kepulauan Raja Ampat, menjadikannya bagian penting dari aktivitas ekowisata yang menguntungkan masyarakat lokal.
Contohnya di Distrik Waisai, di mana penduduk menyediakan banyak homestay untuk wisatawan, terutama bagi para bird watcher yang datang khusus untuk melihat cenderawasih botak di habitat alaminya.
Sektor ekowisata ini turut memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Pada tahun 2020, ekowisata menyumbang sekitar 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat, dengan nilai mencapai Rp 7,005 miliar. Pendapatan ini diperoleh dari retribusi penginapan, pajak kapal wisata, hingga pungutan kartu wisata yang dikenakan kepada wisatawan lokal maupun asing.
Namun, keberlanjutan sektor ekowisata itu kini terancam akibat aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran—ketiganya merupakan bagian dari kepulauan Raja Ampat. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil tersebut dilarang.
Greenpeace mencatat bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami di ketiga pulau itu telah dibabat untuk aktivitas pertambangan. Selain kerusakan daratan, Kiki juga mengungkapkan kekhawatiran atas kerusakan terumbu karang akibat lalu lalangnya kapal tongkang pengangkut nikel yang melintasi wilayah perairan Raja Ampat.
Sumber : tempo.com