Home / Hukum / News / Pemerintah

Selasa, 22 April 2025 - 07:56 WIB

Mahkamah Agung AS Hentikan Deportasi Sepihak Trump

 

BIM | Jakarta – Dalam intervensi dramatis yang terjadi tengah malam pada Sabtu lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat memblokir kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump yang hendak mendeportasi migran Venezuela tanpa proses hukum. Kebijakan ini menggunakan Undang-Undang Alien Enemies Act yang berasal dari tahun 1798, sebuah hukum kuno yang terakhir kali digunakan untuk menahan warga Jepang-Amerika saat Perang Dunia II.

Dalam perintah daruratnya, Mahkamah menyatakan bahwa “pemerintah diarahkan untuk tidak memindahkan siapa pun dari kelompok tahanan yang dimaksud dari wilayah Amerika Serikat sampai ada perintah lebih lanjut.” Dua hakim konservatif tercatat tidak setuju dengan keputusan tersebut.

Trump, yang kembali memenangkan Gedung Putih tahun lalu berjanji menindak imigran ilegal, menggunakan hukum tersebut untuk mengirim warga Venezuela ke penjara berkeamanan super maksimum di El Salvador, yakni CECOT, yang dikenal menampung ribuan narapidana dari geng kriminal paling brutal di Amerika Latin.

Langkah itu memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan bahwa Trump mengabaikan konstitusi dalam upayanya memperluas kekuasaan.

“Para pria ini berada dalam bahaya nyata menghabiskan sisa hidup mereka di penjara asing yang mengerikan tanpa pernah mendapat kesempatan ke pengadilan,” kata Lee Gelernt dari ACLU, organisasi yang memimpin gugatan untuk menghentikan deportasi mengutip AFP.

Sabtu kemarin, pemerintah AS mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung agar larangan tersebut dicabut dan tetap bisa memakai Alien Enemies Act untuk mendeportasi individu yang dituduh sebagai teroris. Pemerintah juga mengklaim, jika penggunaan hukum itu dilarang, Mahkamah tetap harus membuka jalan agar deportasi bisa dilakukan lewat undang-undang lainnya.

Tato dan Tanpa Pengadilan
Retorika Trump tentang “invasi kriminal” dari para pemerkosa dan pembunuh telah lama menjadi bahan kampanye utamanya. Ia telah mengerahkan pasukan ke perbatasan Meksiko, mengenakan tarif kepada Meksiko dan Kanada, serta menetapkan geng seperti Tren de Aragua dan MS-13 sebagai kelompok teroris.

Baca Juga  Kejagung Buka Suara soal Isu Pertamax Oplosan

Namun, kebijakan keras itu kini memunculkan kisah-kisah menyedihkan. Beberapa pengacara mengungkapkan bahwa klien mereka dideportasi hanya karena memiliki tato.

Kasus paling menonjol melibatkan Kilmar Abrego Garcia, warga Maryland, yang dideportasi ke CECOT bulan lalu. Pemerintah kemudian mengakui bahwa deportasi itu adalah “kesalahan administratif”.

Namun, alih-alih memperbaiki kesalahan, Trump justru menggandakan narasi bahwa Garcia adalah anggota geng, bahkan mengunggah foto yang diduga telah diedit dengan tulisan MS-13 di buku jarinya.

Trump juga pernah mengatakan terbuka untuk mengirim warga negara AS yang dihukum karena kejahatan kekerasan ke penjara El Salvador tersebut. Sementara itu, influencer sayap kanan seperti Laura Loomer memuji kebijakan Trump, menyebut presiden “murah hati” karena hanya mendeportasi para migran ilegal alih-alih “menembak mereka mati di perbatasan”.

Kritik terus mengalir. Hakim-hakim yang dianggap “terlalu aktivis” oleh Trump dan sekutunya kembali jadi sasaran serangan. Menanggapi perintah Mahkamah Agung yang membekukan deportasi, Jesse Kelly, influencer konservatif lainnya, hanya menulis di media sosial: “Ignore the Supreme Court.”

(tis/tis)

Sumber : cnnindonesia.com

Share :

Baca Juga

News

Sekda Aceh Lepas Kontingen BAPOMI ke Pomnas 19, Target Masuk 10 Besar

Agama

KPK Panggil Eks Sekjen Kemenag Era Yaqut Terkait Kasus Kuota Haji

News

Bunda PAUD Aceh Lakukan Audiensi untuk Peningkatan Kapasitas Pendidikan Anak Usia Dini

News

Gubernur Mualem Minta Revisi UUPA Sesuai MoU Helsinki

Hukum

Hamas Tuduh AS Terlibat dalam Serangan Israel ke Pejabatnya di Qatar

Ekonomi

Sekda Aceh Buka Rapat Kerja Triwulan III Bank Aceh

Hukum

Pelaku Penembakan Charlie Kirk Ditangkap, Masih Berusia 22 Tahun

Ekonomi

Gubernur Aceh Temui Menteri Koperasi di Jakarta